Dalihan Na Tolu (sistem Kekerabatan suku Batak)
Dalihan Natolu (DNT)
SECARA umum kita mengetahui bahwa Dalihan Natolu adalah struktur tata hubungan sosial masyarakat Batak yang didasarkan pada hubungan daerah atau keturunan (genealogis).
Masyarakat Batak yang patrilineal, membagi dua hubungan itu menjadi hubungan keturunan laki-laki (kinship relations) dan hubungan keturunan perempuan (affinity relations).
Kelompok laki-laki dari satu garis keturunan disebut Dongan Sabutuha dan kelompok perempuan dari garis keturunan yang sama (kawin dengan laki-laki dari marga lain-exogam) disebut boru. Bagi kelompok boru sebagai pihak penerima istri, seluruh keluarga marga istrinya adalah hulahula, sehingga mardongan sabutuha adalah kinship relation sedangkan marhulahula serta marboru adalah affinity relation (BH Harahap, 1987:106).
Dalam affinity relations atau hubungan affinal antara kelompok hulahula dan kelompok boru secara timbal balik itulah sebenarnya merupakan tatanan inti kekerabatan adat batak yaitu Dalihan Natolu. Tata tertib atau tatakarama saling hubungan di antar keduanya juga diatur dengan elek marboru bagi kelompok boru terhadap hulahula-nya.
Secara tradisional masyarakat Batak menghubungkan sikap somba marhulahula dengan pandangan yang menganggap:
1. hulahula mata ni ari binsar, bagaikan matahari terbit yang menyinari dan memberi kehangatan bagi alam raya.
2. Hulahula do Debata na niida, bagaikan Tuhan yang terlihat di dunia ini.
Dalam hubungan affinal itu, hulahula dianggap sebagai pemberi doa restu bagi boru-nya, yaitu doa yang dialamatkan kepada Allah di surga, memohon agar Tuhan (Debata) mencurahkan anugerah dan berkat yang berkelimpahan, memberikan kehidupan yang tenteram dan sejahtera kepada seluruh keluarga boru-nya. Hal itu tergambar dengan jelas dalam ungkapan pantun yang berbunyi,
“Obuk dojambulan na nidandan bahen samara; tangiang ni hulahula marsundut-sundut soada mara”
Artinya, doa hulahula terhadap boru-nya
akan selalu melindungi mereka dari malapetaka. (M Sihombing, 1985:76).
Dasar kekerabatan inilah yang menampakkan dengan jelas hingga sekarang dalam hidup orang batak dimanapun mereka berada—Pergaulan hidup sehari-hari menunjukkan secara nyata bahwa kelompok boru selalu bersikap hormat terhadap hulahula. Dan sebaliknya, kelompok hulahula selalu bersikap persuasif terhadap boru-nya. Dengan pengertian lain, saling hubungan di antara mereka selalu berlangsung dalam sikap saling menghormati dan saling menghargai. Dan sikap-sikap terhormat dalam tingkat sopan-santun yang tinggi itu nyata melalui sapaan-sapaan yang penuh penghormatan dalam tutur kata yang baik.
“Apa marganya (boru apa ito)?”. Pertanyaan itu menjadi pembicaraan penting bagi setiap orang batak ketika bertemu sesamanya. Ini semua mau menyatakan dengan jelas bahwa orang batak memiliki inters dan habit bersaudara atau membangun semangat kekluargaan. Mungkin ini bias dikatakan cukup subjektif. Namun inilah yang kerap kita jumpai dan alami serta lakukan sebagai orang yang lahir dan besar dalam budaya batak.
Singkatnya apa yang diatur dalam DNT diwujudnyatakan dalam hubungan kekerabatan yang lebih konkrit dalam tutur panggilan. Itulah yang nampak tergambar dari system kekerabatan (partuturan) suku batak.
Berikut saya mencoba paparkan ragam hubungan kekerabatan yang tampak dalam panggilan kepada pihak lain menurut adat dan kebiasaan batak (partuturan):
Amang mangulahi : oppung dari bapak
Inang mangulahi : oppung boru dari bapak
Ompung : ayah dari bapak
Ompung boru : ibu dari bapak
Ompung bao : ayah dari mamak
Ompung boru : ibu dari mamak
Amang/among : bapak / orang tua laki-laki
Inang/inong : ibu / orang tua perempuan
Amang simatua (amang) : bapak / orang tua laki-laki dari isteri
Inang simatua (inang) : ibu / orang tua perempuan dari isteri
Akkang : abang, kakak (untuk perempun ke perempuan),
isteri abang
Anggi : adik laki-laki, adik (untuk perempuan ke perempuan)
Ito/iboto/pinaribot : panggilan untuk saudara laki-laki dari saudarinya dan
Sebaliknya dari saudara laki-laki ke saudarinya
Amang tua/bapa tua : abang dari bapak, suaminya kakak (untuk adik perempuan
kepada suami kakaknya)
inang tua : isteri dari abangnya bapak, kakak dari ibu
amanguda : adik dari bapak, suami dari adiknya (perempuan) ibu
inanguda : isteri adiknya bapak
inang baju : tante, adiknya (perempuan) mamak
amang boru : suami dari saudarinya bapak
namboru : saudarinya bapak
Tulang : saudara dari ibu
Nantulang : isteri dari saudara ibu
Pariban : anak perempuan dari tulang (untuk yang laki-laki), anak
laki-laki amangboru (untuk yang perempuan)
lae : suaminya saudari (ito)
tunggane : itonya isteri, anak laki-laki tulang
Eda : isteri memanggil ito dari suami, atau sebaliknya ito pihak
laki-laki (suami) kepada isteri
amang bao : suami dari eda, suami dari anak perempuan amangboru
inang bao : isteri dari anak laki-laki tulang
Kesenian suku Batak memiliki tempat tersendiri dalam khazanah kebudayaan nusantara karena keunikannya. Mulai seni musik dengan karakter lagu melodius, seni tari dinamis dan energik, tak ketinggalan seni kriya yang menonjol dengan kain budaya bernama ulos. Ulos berbentuk selendang yang dibuat menggunakan alat tenun bukan mesin, merupakan tradisi seni kriya yang diwariskan turun-temurun.
Ya, jika kita menyebut ulos maka kita menyebut Batak. Berbeda dengan batik, sebab meskipun batik menjadi kain tradisi Jawa tapi dikenal juga di beberapa tempat lain dengan ciri dan cara pembuatan berbeda. Sedangkan ulos, tak bisa lain, itu adalah Batak!
Ulos melambangkan kasih sayang sesama manusia, sebagaimana falsafah ulos yang menyebut: Ijuk pengihot ni hodong. Ulos penghit ni halong (ijuk adalah pengikat pelepah, ulos adalah pengikat kasih sayang).
Ulos dalam Tradisi Budaya Batak
Ulos menempati posisi sangat penting dalam tradisi kebudayaan Batak, sebab ulos merupakan perangkat pelengkap dalam berbagai upacara adat. Konon, ulos memiliki ‘raksa’ sendiri-sendiri berkaitan dengan sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan benda atau peristiwa.
Falsafah kebudayaan Batak memandang bahwa kehidupan didasarkan pada tiga unsur; darah, napas, dan panas. Jika dua unsur yang pertama diberikan Tuhan dengan kadar tepat, tidak demikian dengan panas. Panas matahari tidak cukup, karena itu manusia perlu melengkapinya dengan api dan ulos. Api untuk menghangatkan jasmani, sedangkan ulos untuk menghangatkan hati.
Berangkat dari falsafah itulah maka muncul istilah ‘mengulosi’ yang berarti menghangatkan dengan ulos. Diyakini dengan mengulosi itulah kaum lelaki yang berjiwa keras memiliki sifat hangat yang melindungi, jantan, dan pahlawan; sedangkan kaum wanitanya memiliki kehangatan yang melindunginya dari guna-guna dan mampu memberikan keturunan.
Begitu sakralnya ulos, sampai-sampai ada aturan yang harus dipatuhi dalam mengulosi. Misalnya, mengulosi hanya boleh dilakukan kepada mereka yang secara struktur kekerabatan berada di bawahnya: orang tua boleh mengulosi anak, tapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Hula-hula boru boleh mengulasi boru-nya tapi tidak boleh sebaliknya.
Falsafah Ulos
Kehidupan yang keras memberikan kearifan tersendiri bagi suku Batak di masa lalu. Mereka menyadari tidak ada hidup yang mudah, tapi berliku-liku penuh tantangan. Semua masalah hanya bisa diselesaikan dengan kesabaran.
Falsafah inilah yang diajarkan kepada anak-anaknya secara simbolik melalui ulos. Liku-liku benang tenun, warna benang, dan tarikan garis jalur benang yang menghiasi kain ulos tak bisa diselesaikan oleh penenun yang terburu-buru. Karena itu, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan.
Benang ulos dibuat dengan jalan manorha, dan menenunnya menjadi kain dengan cara martonun. Ada tiga warna dominan yang digunakan, yaitu merah, putih, dan hitam. Ada falsafah tersendiri dalam ketiga warna itu; putih berarti suci, merah berarti berani, dan hitam berarti kuat, teguh, kokoh.
Komposisi warna ulos dimulai dengan garis putih dari ujung ke ujung, jumlahnya harus ganjil. Sebab, ada kepercayaan bahwa jumlah ganjil melambangkan derajat yang baik, sedangkan jumlah genap merupakan ulos kepunyaan hatoban (budak).
Pada umumnya, ulos digunakan dengan diselempangkan di pundak kanan, dililitkan di kepala, atau ke badan. Masing-masing memiliki etiket yang harus dipenuhi karena ulos sekaligus melambangkan status sosial.
Macam-Macam Ulos
1. Ulos Ragidup
Di antara berbagai jenis ulos, ulos ragidup yang paling tinggi derajatnya. Pembuatannya sangat rumit. Bagian sisi ulos ditenun langsung sedangkan bagian tengahnya ditenun terpisah dengan motif hias yang rumit, terdiri dari pinarhalak hana (ujung pigura laki-laki) dan pinarhlak boru-boru (ujung pigura perempuan). Setiap pigura diberi motif hias antiganting sigumang dan batuhi ansimun.
Ulos ragidup merupakan perlambang kehidupan, maka setiap keluarga di Batak harus memilikinya. Ulos ini juga perlambang restu dan kebahagiaan, dan umumnya dipajang di dinding rumah.
2. Ulos Ragihotang
Ulos ragitohang termasuk ulos yang berderajat tinggi meskipun tidak sampai melampaui ulos ragidup. Cara pembuatannya pun sedikit lebih mudah. Ulos ini biasa diberikan dalam pernikahan dan mengandung doa agar ikatan pernikahan menjadi kuat, tidak mudah dipatahkan.
3. Ulos Mangiring
Ulos mangiring biasa digunakan sehari-hari sebagai tali-tali (tutup kepala pria) dan saong (tutup kepala wanita). Ulos mangiring diberikan oleh orang yang dituakan kepada cucu-cucunya.
4. Ulos Giun Hinar-Haran
Ulos ini melambangkan kemalangan, biasanya digunakan oleh mereka yang sedang dirundung duka atau tertimpa musibah.
5. Ulos Abit Godang
Ulos ini memiliki tempat terhormat di kalangan Batak Toba, dan merupakan harapan orang tua agar kehidupan anak-anaknya dilimpahi kebahagiaan dan kebajikan.
Masih banyak lagi jenis ulos lainnya yang dikenal dalam masyarakat suku Batak. Ulos-ulos tersebut merupakan gambaran kehidupan dan harapan, di samping sebagai wujud cipta-karya-karsa adiluhung yang bernilai estetis dan sakral.
Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
[sunting] Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosilogis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs narga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosopi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Rumah Adat Batak Toba
[sunting] Falsafah dan sistem kemasyarakatan
[sunting] Dalihan na Tolu
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru
Dalihan Natolu (DNT)
SECARA umum kita mengetahui bahwa Dalihan Natolu adalah struktur tata hubungan sosial masyarakat Batak yang didasarkan pada hubungan daerah atau keturunan (genealogis).
Masyarakat Batak yang patrilineal, membagi dua hubungan itu menjadi hubungan keturunan laki-laki (kinship relations) dan hubungan keturunan perempuan (affinity relations).
Kelompok laki-laki dari satu garis keturunan disebut Dongan Sabutuha dan kelompok perempuan dari garis keturunan yang sama (kawin dengan laki-laki dari marga lain-exogam) disebut boru. Bagi kelompok boru sebagai pihak penerima istri, seluruh keluarga marga istrinya adalah hulahula, sehingga mardongan sabutuha adalah kinship relation sedangkan marhulahula serta marboru adalah affinity relation (BH Harahap, 1987:106).
Dalam affinity relations atau hubungan affinal antara kelompok hulahula dan kelompok boru secara timbal balik itulah sebenarnya merupakan tatanan inti kekerabatan adat batak yaitu Dalihan Natolu. Tata tertib atau tatakarama saling hubungan di antar keduanya juga diatur dengan elek marboru bagi kelompok boru terhadap hulahula-nya.
Secara tradisional masyarakat Batak menghubungkan sikap somba marhulahula dengan pandangan yang menganggap:
1. hulahula mata ni ari binsar, bagaikan matahari terbit yang menyinari dan memberi kehangatan bagi alam raya.
2. Hulahula do Debata na niida, bagaikan Tuhan yang terlihat di dunia ini.
Dalam hubungan affinal itu, hulahula dianggap sebagai pemberi doa restu bagi boru-nya, yaitu doa yang dialamatkan kepada Allah di surga, memohon agar Tuhan (Debata) mencurahkan anugerah dan berkat yang berkelimpahan, memberikan kehidupan yang tenteram dan sejahtera kepada seluruh keluarga boru-nya. Hal itu tergambar dengan jelas dalam ungkapan pantun yang berbunyi,
“Obuk dojambulan na nidandan bahen samara; tangiang ni hulahula marsundut-sundut soada mara”
Artinya, doa hulahula terhadap boru-nya
akan selalu melindungi mereka dari malapetaka. (M Sihombing, 1985:76).
Dasar kekerabatan inilah yang menampakkan dengan jelas hingga sekarang dalam hidup orang batak dimanapun mereka berada—Pergaulan hidup sehari-hari menunjukkan secara nyata bahwa kelompok boru selalu bersikap hormat terhadap hulahula. Dan sebaliknya, kelompok hulahula selalu bersikap persuasif terhadap boru-nya. Dengan pengertian lain, saling hubungan di antara mereka selalu berlangsung dalam sikap saling menghormati dan saling menghargai. Dan sikap-sikap terhormat dalam tingkat sopan-santun yang tinggi itu nyata melalui sapaan-sapaan yang penuh penghormatan dalam tutur kata yang baik.
“Apa marganya (boru apa ito)?”. Pertanyaan itu menjadi pembicaraan penting bagi setiap orang batak ketika bertemu sesamanya. Ini semua mau menyatakan dengan jelas bahwa orang batak memiliki inters dan habit bersaudara atau membangun semangat kekluargaan. Mungkin ini bias dikatakan cukup subjektif. Namun inilah yang kerap kita jumpai dan alami serta lakukan sebagai orang yang lahir dan besar dalam budaya batak.
Singkatnya apa yang diatur dalam DNT diwujudnyatakan dalam hubungan kekerabatan yang lebih konkrit dalam tutur panggilan. Itulah yang nampak tergambar dari system kekerabatan (partuturan) suku batak.
Berikut saya mencoba paparkan ragam hubungan kekerabatan yang tampak dalam panggilan kepada pihak lain menurut adat dan kebiasaan batak (partuturan):
Amang mangulahi : oppung dari bapak
Inang mangulahi : oppung boru dari bapak
Ompung : ayah dari bapak
Ompung boru : ibu dari bapak
Ompung bao : ayah dari mamak
Ompung boru : ibu dari mamak
Amang/among : bapak / orang tua laki-laki
Inang/inong : ibu / orang tua perempuan
Amang simatua (amang) : bapak / orang tua laki-laki dari isteri
Inang simatua (inang) : ibu / orang tua perempuan dari isteri
Akkang : abang, kakak (untuk perempun ke perempuan),
isteri abang
Anggi : adik laki-laki, adik (untuk perempuan ke perempuan)
Ito/iboto/pinaribot : panggilan untuk saudara laki-laki dari saudarinya dan
Sebaliknya dari saudara laki-laki ke saudarinya
Amang tua/bapa tua : abang dari bapak, suaminya kakak (untuk adik perempuan
kepada suami kakaknya)
inang tua : isteri dari abangnya bapak, kakak dari ibu
amanguda : adik dari bapak, suami dari adiknya (perempuan) ibu
inanguda : isteri adiknya bapak
inang baju : tante, adiknya (perempuan) mamak
amang boru : suami dari saudarinya bapak
namboru : saudarinya bapak
Tulang : saudara dari ibu
Nantulang : isteri dari saudara ibu
Pariban : anak perempuan dari tulang (untuk yang laki-laki), anak
laki-laki amangboru (untuk yang perempuan)
lae : suaminya saudari (ito)
tunggane : itonya isteri, anak laki-laki tulang
Eda : isteri memanggil ito dari suami, atau sebaliknya ito pihak
laki-laki (suami) kepada isteri
amang bao : suami dari eda, suami dari anak perempuan amangboru
inang bao : isteri dari anak laki-laki tulang
Kesenian suku Batak memiliki tempat tersendiri dalam khazanah kebudayaan nusantara karena keunikannya. Mulai seni musik dengan karakter lagu melodius, seni tari dinamis dan energik, tak ketinggalan seni kriya yang menonjol dengan kain budaya bernama ulos. Ulos berbentuk selendang yang dibuat menggunakan alat tenun bukan mesin, merupakan tradisi seni kriya yang diwariskan turun-temurun.
Ya, jika kita menyebut ulos maka kita menyebut Batak. Berbeda dengan batik, sebab meskipun batik menjadi kain tradisi Jawa tapi dikenal juga di beberapa tempat lain dengan ciri dan cara pembuatan berbeda. Sedangkan ulos, tak bisa lain, itu adalah Batak!
Ulos melambangkan kasih sayang sesama manusia, sebagaimana falsafah ulos yang menyebut: Ijuk pengihot ni hodong. Ulos penghit ni halong (ijuk adalah pengikat pelepah, ulos adalah pengikat kasih sayang).
Ulos dalam Tradisi Budaya Batak
Ulos menempati posisi sangat penting dalam tradisi kebudayaan Batak, sebab ulos merupakan perangkat pelengkap dalam berbagai upacara adat. Konon, ulos memiliki ‘raksa’ sendiri-sendiri berkaitan dengan sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan benda atau peristiwa.
Falsafah kebudayaan Batak memandang bahwa kehidupan didasarkan pada tiga unsur; darah, napas, dan panas. Jika dua unsur yang pertama diberikan Tuhan dengan kadar tepat, tidak demikian dengan panas. Panas matahari tidak cukup, karena itu manusia perlu melengkapinya dengan api dan ulos. Api untuk menghangatkan jasmani, sedangkan ulos untuk menghangatkan hati.
Berangkat dari falsafah itulah maka muncul istilah ‘mengulosi’ yang berarti menghangatkan dengan ulos. Diyakini dengan mengulosi itulah kaum lelaki yang berjiwa keras memiliki sifat hangat yang melindungi, jantan, dan pahlawan; sedangkan kaum wanitanya memiliki kehangatan yang melindunginya dari guna-guna dan mampu memberikan keturunan.
Begitu sakralnya ulos, sampai-sampai ada aturan yang harus dipatuhi dalam mengulosi. Misalnya, mengulosi hanya boleh dilakukan kepada mereka yang secara struktur kekerabatan berada di bawahnya: orang tua boleh mengulosi anak, tapi anak tidak boleh mengulosi orang tua. Hula-hula boru boleh mengulasi boru-nya tapi tidak boleh sebaliknya.
Falsafah Ulos
Kehidupan yang keras memberikan kearifan tersendiri bagi suku Batak di masa lalu. Mereka menyadari tidak ada hidup yang mudah, tapi berliku-liku penuh tantangan. Semua masalah hanya bisa diselesaikan dengan kesabaran.
Falsafah inilah yang diajarkan kepada anak-anaknya secara simbolik melalui ulos. Liku-liku benang tenun, warna benang, dan tarikan garis jalur benang yang menghiasi kain ulos tak bisa diselesaikan oleh penenun yang terburu-buru. Karena itu, dibutuhkan kesabaran dan ketekunan.
Benang ulos dibuat dengan jalan manorha, dan menenunnya menjadi kain dengan cara martonun. Ada tiga warna dominan yang digunakan, yaitu merah, putih, dan hitam. Ada falsafah tersendiri dalam ketiga warna itu; putih berarti suci, merah berarti berani, dan hitam berarti kuat, teguh, kokoh.
Komposisi warna ulos dimulai dengan garis putih dari ujung ke ujung, jumlahnya harus ganjil. Sebab, ada kepercayaan bahwa jumlah ganjil melambangkan derajat yang baik, sedangkan jumlah genap merupakan ulos kepunyaan hatoban (budak).
Pada umumnya, ulos digunakan dengan diselempangkan di pundak kanan, dililitkan di kepala, atau ke badan. Masing-masing memiliki etiket yang harus dipenuhi karena ulos sekaligus melambangkan status sosial.
Macam-Macam Ulos
1. Ulos Ragidup
Di antara berbagai jenis ulos, ulos ragidup yang paling tinggi derajatnya. Pembuatannya sangat rumit. Bagian sisi ulos ditenun langsung sedangkan bagian tengahnya ditenun terpisah dengan motif hias yang rumit, terdiri dari pinarhalak hana (ujung pigura laki-laki) dan pinarhlak boru-boru (ujung pigura perempuan). Setiap pigura diberi motif hias antiganting sigumang dan batuhi ansimun.
Ulos ragidup merupakan perlambang kehidupan, maka setiap keluarga di Batak harus memilikinya. Ulos ini juga perlambang restu dan kebahagiaan, dan umumnya dipajang di dinding rumah.
2. Ulos Ragihotang
Ulos ragitohang termasuk ulos yang berderajat tinggi meskipun tidak sampai melampaui ulos ragidup. Cara pembuatannya pun sedikit lebih mudah. Ulos ini biasa diberikan dalam pernikahan dan mengandung doa agar ikatan pernikahan menjadi kuat, tidak mudah dipatahkan.
3. Ulos Mangiring
Ulos mangiring biasa digunakan sehari-hari sebagai tali-tali (tutup kepala pria) dan saong (tutup kepala wanita). Ulos mangiring diberikan oleh orang yang dituakan kepada cucu-cucunya.
4. Ulos Giun Hinar-Haran
Ulos ini melambangkan kemalangan, biasanya digunakan oleh mereka yang sedang dirundung duka atau tertimpa musibah.
5. Ulos Abit Godang
Ulos ini memiliki tempat terhormat di kalangan Batak Toba, dan merupakan harapan orang tua agar kehidupan anak-anaknya dilimpahi kebahagiaan dan kebajikan.
Masih banyak lagi jenis ulos lainnya yang dikenal dalam masyarakat suku Batak. Ulos-ulos tersebut merupakan gambaran kehidupan dan harapan, di samping sebagai wujud cipta-karya-karsa adiluhung yang bernilai estetis dan sakral.
Kepercayaan
Sebelum suku Batak menganut agama Kristen Protestan, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
Menyangkut jiwa dan roh, suku Batak mengenal tiga konsep, yaitu:
- Tondi : adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan, oleh karena itu tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi di dapat sejak seseorang di dalam kandungan.Bila tondi meninggalkan badan seseorang, maka orang tersebut akan sakit atau meninggal, maka diadakan upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya.
- Sahala : adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula.
- Begu : adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, hanya muncul pada waktu malam.
[sunting] Kekerabatan
Kekerabatan adalah menyangkut hubungan hukum antar orang dalam pergaulan hidup. Ada dua bentuk kekerabatan bagi suku Batak, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan sosilogis, sementara kekerabatan teritorial tidak ada.
Bentuk kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan sosiologis terjadi melalui perjanjian (padan antar marga tertentu) maupun karena perkawinan. Dalam tradisi Batak, yang menjadi kesatuan Adat adalah ikatan sedarah dalam marga, kemudian Marga. Artinya misalnya Harahap, kesatuan adatnya adalah Marga Harahap vs narga lainnya. Berhubung bahwa Adat Batak/Tradisi Batak sifatnya dinamis yang seringkali disesuaikan dengan waktu dan tempat berpengaruh terhadap perbedaan corak tradisi antar daerah.
Adanya falsafah dalam perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. merupakan suatu filosopi agar kita senantiasa menjaga hubungan baik dengan tetangga, karena merekalah teman terdekat. Namun dalam pelaksanaan adat, yang pertama dicari adalah yang satu marga, walaupun pada dasarnya tetangga tidak boleh dilupakan dalam pelaksanaan Adat.
Rumah Adat Batak Toba
[sunting] Falsafah dan sistem kemasyarakatan
[sunting] Dalihan na Tolu
Masyarakat Batak memiliki falsafah, azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru ditambah Sihal-sihal. Dalam Bahasa Batak Angkola Dalihan na Tolu terdiri dari Mora, Kahanggi, dan Anak Boru
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifak kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak pasti pernah menjadi Hulahula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual.
Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raji no Dongan Tubu dan Raja ni Boru
No comments:
Post a Comment