kesenian orang bugis
folklore didefinisikan sebagai perbuatan-perbuatan (tarian), benda-benda, cerita rakyat
yang belum dicatat atau dituliskan (folktale). Contoh beberapafolktal e yang berkembang diantara orang-orang Bugis adalahPocci- Tana, asal-usul kota (Toraja dan Luwu, Sinjai, Enrekang dan Mangkendek, dan Bulukamba),Pem m ali (tentang larangan atau pantangan).
Seni tari yang berasal dari suku Bugis (Sulawesi Selatan) pada mulanya bersumber dari rangkaian pemujaan kepada dewa-dewa yang dianggap menguasai alam semesta dan segala sesuatu di atas dunia ini. Tari-tari pujian yang ditujukan kepada dewa-dewa tersebut menunjukkan semacam gerakan anggota badan yang lemah gemulai, diiringi oleh bunyi- bunyian yang merayu-rayu, utnuk membujuk atau mempengaruhi sang dewa agar memenuhi permintaan manusia. Contoh tarian dari suku Bugis : Pagellu’ (tarian khas dari daerah Toraja), Pajaga (dari daerah tana-Luwu), Pajoge (dari daerah tana-Bone), Pakarena (dari daerah Butta Gowa), Patuddu’ (dari daerah Mandar). Selain contoh diatas masih ada beberapa tarian lain yang sifatnya occasional seperti tarian Ma’dandan dan Manimbong yang hanya ditarikan pada ritual-ritual sebagai rasa syukur terhadap para dewa, ataupun tari ma’badong dan ma’rakka yang ditarikan pada pesta (selamatan) kematian.
Alat-alat yang digunakan untuk mencari nafkah (mata pencaharian), mencakup alat pencaharian hidup di laut seperti Perahu dan alat-alat penangkap ikan. Ada beberapa jenis perahu yang berasal dari suku Bugis, yaitu Perahu Pinisi (perahu dagang dengan ukuran sangat besar), Lambo’/ palari (perahu dagang yang ukurannya lebih kecil dari Pinisi), Lambo calabai (Perahu dagang yang bentuknya seperti kapal-kapal biasa).
Demografi:
Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Jumlah orang Bugis tidak dapat diketahui dengan pasti, termasuk dalam data sensus penduduk tahun 1930 yang memperhatikan identitas kesuku-bangsaan. Dalam sensus tersebut orang Budis dan Makassar disatukan dan jumlahnya tercatat sekitar 2.5 juta jiwa. Jumlah orang Bugis semakin terlihat sedikit karena kini mereka tidak saja berdiam di daerah asalnya di Sulawesi Selatan, melainkan juga tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Mereka dikenal sebagai masyarakat perantau dan masyarakat bahari yang sudah berlangsung sejak berabad-abad yang lalu. Berbagai sumber menunjukkan bahwa orang Bugis menjadi alah satu unsur yang melahirkan masyarakat Betawi, sebagai suatu hasil asimilasi dengan berbagai anggota masyarakat lain sebagai unsurnya. Orang Bugis juga menjadi penyebar agama Islam di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur. Bukti sifat kebaharian itu dapat juga dilihat dari daya jelajah mereka dengan perahu-perahu pinisinya
sistem kekerabatan
Dalam kalangan masyarakat Bugis, sistem kekerabatan yang dianut adalahAde’
asseajingeng. Sistem ini menyatakan peranannya dalam hal pencarian jodoh atau perkawinan
untuk membentuk keluarga baru. Dalam penarikan garis keturuanan mereka berpedoman kepada prinsip bilateral, artinya hubungan seseorang dengan kerabat pihak kerabat ayah dan pihak ibu sama erat dan pentingnya.
Masyarakat Bugis terdiri dari dua golongan yang bersifat eksogam, pertalian kekerabatan dihitung menurut prinsip keturunan matrilineal, tetapi perkawinan bersifat patriokal. Dalam suatu perkawinan, orang Bugis sangat memperhatikan uang belanja yang diberikan dari mempelai laki-laki. Makin besar pesta perkawinan itu ( uang belanja ), makin mempertinggi derajat sosial seseorang, walaupun harus dibelinya dengan kebangkrutan, atau dengan berhutang sekalipun.
Penggolongan kerabat (seajing) di kalangan orang Bugis dibedakan antararappe atau kelompok kerabat sedarah (consanguinity) dan sumpung lolo atau pertalian kerabat karena perkawinan (affinity). Kerabat itu dibedakan pula atas kerabat dekat (seajing mareppe) dan kerabat jauh ( seajing mabela).
<!-- (function() { var pageParams = {"origHeight": 1276, "origWidth": 902, "fonts": [0, 1, 2], "pageNum": 3}; pageParams.containerElem = document.getElementById("outer_page_3"); pageParams.innerPageElem = document.getElementById("page3"); var page = docManager.addPage(pageParams); })(); // -->SISTEM KEPERCAYAAN
:
Religi orang Bugis dalam zaman pra-Islam seperti yang disebutkan dalamsure’
Galigo (karya sastra kuno Bugis), sebenarnya telah mengandung suatu kepercayaan kepada
satu dewa yang tunggal, yang disebut dengan beberapa nama seperti : Patoto’E (Dia yang menentukan nasib);To-palanroE (Dia yang menciptakan); Dewata seuaE (Dewa yang tunggal); Tu-riE A’ra’na (kehendak yang tertinggi); Puang Matua (Tuhan yang tertinggi).
Waktu agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada permulaan abad ke-17, maka ajaran Tauhid dalam Islam, dapat mudah diterimadan proses itu dipercepat dengan adanya kontak terus-menerus dengan pedagang-pedagang Melayu Islam yang sudah menetap di Makassar, maupun dengan kunjungan-kunjungan niaga orang Bugis ke negeri-negeri lain yang penduduknya sudah beragama Islam.
Siri’. Ketika dibicarakan tentang Panngaderreng, telah disebut tentang konsep siri’,
yang menintegrasikan secara organis semua unsur pokok dari panngaderreng. Namun dari
hasil penelitian yang terjadi di lapangan, diketahui bahwa konsepsiri’ itu, telah
<!-- (function() { var pageParams = {"origHeight": 1276, "origWidth": 902, "fonts": [0, 1, 2], "pageNum": 4}; pageParams.containerElem = document.getElementById("outer_page_4"); pageParams.contentUrl = "http://html3.scribdassets.com/7jjsqle83kmtc1c/pages/4-e1e05f84ef.jsonp"; var page = docManager.addPage(pageParams); })(); // -->diintegrasikan dalam berbagai macam bidang. B.F. Matthes, menerjemahkan instilahs ir i’ itu dengan ‘malu’, ‘beschaamd’,‘schroomvallig’,‘verlegen’. Diakui oleh beliau bahwa penjabaran baik dengan bahasa Indonesia maupun dengna bahasa Belanda, tidak dapat mendekati maknanya secara tepat. Dilain pihak, C.H. Slambasjah memberikan batan atas kata siri’ dengan memberikan tiga pengertian :
1.Siri’ sama artinya dengan malu, isin(J aw a), shame(Inggris ).
2.Siri’ merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan,
mengusir, terhadap barang siapa yang menyinggung perasan mereka. Hal ini merupakan kewajiban adat, kewajiban yang mempunyai sanksi adat, yaitu hukuman menurut norma-norma adat, jika kewajiban itu tidak dilaksanakan.
3.Siri’ sebagai daya pendorong, bervariasi ke arah sumber pembangkitan tenaga untuk
membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha.
Menurut Casutto, Siri’ merupakan pembalasan yang berupa kewajiban moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Dari beberapa definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mendekati batasan siri’, tidak mungkin orang memandang dari satu aspeknya sja, memperhatikan perwujudannya saja. Hal itu mudah dimenerti, karena siri’ adalah suatu hal yang abstrak dan hanya akibtnya saja yang berwujud konkret sehingga dapat diamati dan diobservasi.
Disamping konseps ir i’ itu, terdapat lagi semacam konsep yang dianggap sedikit lebih rendah dari konsepsiri’, yaitupesse. Menurut arti leksikalnya, pesse/ pacce dapat diterjemahkan dengan ‘pedis’ atau ‘pedih’. Sebuah ungkapan dalam amanat orang-orang tua menerangkan konsep pesse/ pacce itu sebagai berikut : “Ia sempugikku rekkua de’na siri’na,
engka messa pessena” yang artinya “mereka sesama saya orang Bugis, bilamana siri’itu
padanya tak ada lagi, akan tetapi niscaya masih adapess e-nya”. Sehingga dapat dikatakan bahwa pesse adalah semacam dya dorong untuk menimbulkan rasa solidaritas yang kokoh dikalangan orang Bugis
No comments:
Post a Comment